Tanggal 21 April merupakan tanggal yang selalu diperingati oleh seluruh warga Indonesia setiap tahunnya khususnya oleh kaum wanita. Karena tanggal tersebut merupakan hari emansipasi wanita yang mana pada zaman dahulu diperjuangkan oleh pahlawan wanita asal Jepara yang bernama Raden Ajeng Kartini.
Kartini merupakan putri dari Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini kecil bersekolah di Europeesche Lagere School atau ELS yang merupakan sekolah dasar khusus untuk bangsa Eropa, Belanda-Indo dan pribumi kelas bangsawan. Kartini merupakan anak yang pintar dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan Kartini yang berusaha mempelajari bahasa Arab agar dapat memahami makna yang ada di dalam Al-Qur’an. Saat belajar Al-Qur’an Kartini dibimbing oleh Kyai Sholeh Darat dalam mengkaji makna yang terdapat pada surah Al-Fatihah.
Setelah lulus dari ELS, Kartini dilarang melanjutkan pendidikannya di HBS Semarang oleh ayahnya karena harus dipingit. Dimana tradisi bangsawan yang mengharuskan anak pada usia 12 tahun untuk menikah karena dianggap sudah dewasa. Jadilah Kartini terus berada dirumah dan dilarang keluar karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Dalam masa tersebut, kartini banyak belajar dan menulis surat kepada teman Belanda nya yaitu Rosa Abendanon untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Kartini kemudian menikah pada tanggal 12 November 1903 dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang juga merupakan bupati Rembang dan kemudian wafat pada usia 25 tahun 4 hari setelah melahirkan putra pertamanya yaitu Soesalit Djojoadhiningrat.
Karena dikenal dengan kebiasaannya yang suka menulis, surat-surat Kartini kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa untuk pembaca Eropa, Asia hingga Amerika yang kemudian surat tersebut terkumpul dalam satu bentuk buku oleh J.H Abendanon salah satu teman Belanda nya dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang artinya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Diterbitkannya buku tersebut mulai mengubah cara berpikir masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi khususnya Jawa.
Di lain cerita, kisah Wanita yang penuh inspiratif hadir dari seorang wanita bernama Dewi Lestari perempuan asal Bantul Yogyakarta. Dewi Lestari merupakan pendiri salah satu perusahaan penyedia barang promosi di Yogyakarta yang bernama Dewi Media Lestari. Sebagai anak pertama yang berasal dari keluarga sederhana, Dewi sudah dihadapkan dengan tanggung jawab besar sejak masih di bangku sekolah menengah, sehingga ia harus mengorbankan masa mudanya untuk memulai bekerja. Dewi dikenal sebagai anak yang pandai membaca peluang dan memiliki semangat yang besar untuk berkembang. Hingga pada suatu hari, Dewi memutuskan untuk mencoba merintis usaha yaitu dengan berjualan kartu nama dan tas furing hingga akhirnya berdirilah Dewi Media Lestari, usaha pertamanya yang berhasil dikembangkan.
Makin hari usahanya semakin berkembang dan menjadi perusahaan penyedia barang promosi dengan lebih dari 8500 proyek dari banyak klien besar seperti instansi, universitas, Lembaga pemerintahan, Perusahaan, BUMN, maupun UMKM. Meski tujuan awalnya adalah untuk membantu keluarganya sendiri, namun disisi lain ia juga ingin orang-orang di sekitarnya turut merasakan manfaat dan berkembang bersama dengan usahanya. Hal tersebut Dewi lakukan dengan mengajak ibu-ibu rumah tangga yang berada disekitar rumahnya untuk belajar menjahit tas furing. Pada akhirnya selain dapat menghidupi keluarganya sendiri, Dewi juga membantu perekonomian orang-orang di sekitarnya. Hingga prinsipnya ‘Bertumbuh dan Menumbuhkan’ pada akhirnya membuahkan hasil dari yang bertumbuh secara pribadi dan juga menumbuhkan bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Baca Juga